Ask Me Properly

07.38



An Original Fiction by: Chan-ad.

Genre: Romance-Comedy
Rating: T+ (For swearing and cursing)


Summary:
Cals sendiri tidak mengerti kenapa Jammy selalu melamarnya dengan berbagai hal konyol. Iya. Dia melamar Cals dengan gaya udik, sangat-tidak-romantis, dan.. konyol.
Tidakkah dia mengerti kalau Cals hanya menginginkan sedikit romansa?

*

“Kau bilang melamar dengan cincin pungutan, tanaman asaragus, dan baju badut itu romantis? Oh, sangat romantis Jammy. Sangat” -Cals








#


“Ada apa ‘sih, Mum?” tanyaku risih. Sedari tadi Mum memandangiku dengan tatapan tajamnya, sehingga aku nggak lagi berselera untuk melanjutkan makan malamku.

Mum hanya mendengus. “Demi Tuhan, Claise Mattason! Kau ini kenapa? Bertengkar lagi dengannya? Jammy sudah menunggumu lebih dari sejam di teras” ujarnya kesal—meski nadanya nggak meninggi, tapi aku tahu Mum kesal karena ia mulai memanggil nama lengkapku.

Aku hanya memutar bola mataku jengah. Rupanya soal Jammy. Bukannya merasa bersalah dan berlari menemui Jammy, aku masih betah duduk di meja makan. Enggan mengangkat bokongku untuk menemui dia. Paling-paling dia hanya mau melamarku. Meski aku sedikit penasaran, dia akan melamarku bagaimana kali ini. Sedikit.

“Baru satu jam, ‘kan? Dia nggak akan mati hanya karena aku membuatnya menunggu selama satu jam, Mum” ujarku, yang mulai ikut kesal.

Namun sial. Mum nggak menjawab dan hanya terus menatapku tajam. Oh, dia tahu betul kalau anaknya ini nggak suka ditatap terus-terusan seperti itu. “Baiklah, baiklah. Aku akan menemuinya dan tolong jangan tatap aku seperti itu. Aku nggak suka” ujarku mengalah. Aku benar-benar sudah nggak bisa memakan supku.
Mum tersenyum mendengarku. “Bagus. Sekarang cepat kau temui dia” ujar Mum sambil berlalu.

Aku mendengus kecil. Kenapa Mum jadi lebih menyayangi Jammy daripada aku—anak kandungnya sendiri?Tch. 

  Setelah Mum pergi ke kamarnya, aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah. Dan disanalah dia. Dia memakai jean belel dengan warna luntur kesukaannya dan T-shirt hitam yang ia beli bersamaku kemarin saat sedang discount. Dia duduk di teras sambil memainkan entah-apa-itu karena di luar gelap dan aku nggak bisa melihatnya dengan jelas. Dia, adalah James Bennington. Bukan, bukan. Dia gak ada hubungan keluarga sama sekali dengan vokalis Linkin Park yang rock itu. Marga ayahnya hanya kebetulan sama.


“Mau apa?” tanyaku ketus, saat sudah duduk di sampingnya. Ia sedikit terlonjak-mungkin karena kedatanganku yang tiba-tiba. Ia menoleh padaku, “Hai, Cals” sapanya sembari menyengir lebar-lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan put—tunggu. Giginya kenapa jadi agak menguning begitu? Ugh, dia pasti belum sikat gigi seharian ini.

“Aku kesini untuk melamarmu lagi! Aku juga membawa sesuatu yang pasti akan kau suka” serunya bersemangat,  wajahnya hampir saja membentur wajahku. Aku memundurkan kepalaku dan mengernyitkan hidungku, “Astaga, Jammy, kau bau! Berapa hari kau nggak sikat gigi?”

Jammy memasang wajah tidak sukanya. “Hei, kau jahat sekali. Aku datang kesini untuk melamarmu, kau malah membuat aku menunggu sejam lebih, mengabaikan kalimatku, dan mengatai aku bau?!” ujarnya gak terima. Kemudin ia mengecek sendiri bau mulutnya, dan ia mengernyitkan hidungnya ketika selesai. “Eww gross! Aku bau. Padahal aku cuma gak mandi dua hari” Jammy mengaku dengan dramatis. 

Lihat, dia sendiri nggak tahan dengan bau mulutnya, apa lagi aku! Dan apa katanya? Dua hari nggak mandi?!! Oh, aku ingin menyeretnya dan melempar tubuhnya ke sumur terdekat.

“Jammy, Aku gak akan menerima lamaranmu sebelum kau sikat gigi dan mandi!” kataku dengan tegas.

“Dari dulu kau bilang begitu, nyatanya sampai sekarang kau masih belum menerima lamaranku. Kau sudah nggak mau kita bersama?” tanyanya kesal. 

Aku membulatkan mataku. Berpisah katanya?! Oh, meski dia gak bilang berpisah secara langsung, tapi intinya sama saja!

“Apa? Aku tidak ingin kita berpisah. Dengar, aku—“

“Tidak, Cals. Kau yang dengarkan aku” potong Jammy dengan cepat. Aku bungkam. Kenapa lagi dia? Dia sudah gak tahan lamarannya ku tolak terus?

“Ketika aku melamarmu, kau bilang ‘aku akan menerimamu kalau kau membelikan aku cincin’. Aku membawakanmu cincin, tapi kau malah marah—hei, jangan pelototi aku, dan jangan menyelaku. Dengarkan aku dulu” ujarnya ketika aku hendak marah dan menyelanya.

Ia menghela napasnya dan menghirup udara sebanyak mungkin-seolah bersiap menceritakan dongeng pengantar tidur yang panjang.

 “Aku melamarmu lagi, tapi kemudian kau kembali menolakku dan bilang aku akan menerimamu kalau kau memakai sepatu. Aku memakai sepatuku, melamarmu lagi, dan kau nggak juga menerima lamaranku. Kemudian aku melamarmu lagi, dan kau kembali menolakku dan bilang ‘aku akan menerimamu kalau kau membawa bunga’. Aku membawa bunga, tapi kau terlihat kecewa dan menolak lamaranku. Dan kemarin aku melamarmu, kau menolakku dan bilang ‘aku akan menerimamu kalau kau memakai jeans belelmu lagi’”

Jammy kemudian menangkup wajahku dengan kedua tangannya, dan menatapku tepat di ke dua bola mataku. “Sekarang aku disini, melamarmu lagi. Aku juga memakai jeans belelku, dan kau mau menolak lamaranku lagi? Kenapa kau selalu menolak lamaranku? Apa karena aku nggak memberikanmu sesuatu yang mewah?” tanyanya sedih.

Aku meneguk ludahku susah payah. Wajah kami terlalu dekat, wajahnya yang tampan, garis rahangnya yang tegas, mata cokelat kehitaman yang terlihat sendu, dan hidung mancungnya.
Ugh, aku lemah kalau melihatnya dalam jarak sedekat ini. Well, kurasa teman semasa kuliahku dulu juga nggak pernah ada yang tahan menatap lamat-lamat wajah tampan Jammy. Karismanya terlalu kuat.

Jammy masih menunggu jawabanku dengan wajah sendunya. Dan aku benci kalau sudah melihatnya memasang wajah itu. Meski aku kesal dengannya. Aku menghela napasku dengan berat. Aku memegang lembut tangannya.


“Jammy, kau tahu sendiri aku nggak pernah menolakmu. Aku nggak bilang ‘Aku menolak lamaranmu’ kan?” tanyaku lembut. Atau mungkin berusaha lembut-karena aku sebenarnya kesal juga saat dia bilang aku menolaknya karena dia nggak membelikanku sesuatu yang mewah. Aku kan gak bermaksud begitu! Aku juga nggak pernah bilang nggak. Aku hanya diam saja kok.

Ia mulai menjauhkan wajahnya dan menyingkirkan tangannya dari pipiku. Rahangnya mengeras begitu mendengar jawabanku.

“Tapi kau juga nggak bilang Iya. Kau bahkan nggak menjawab lamaranku dan kau selalu mengalihkan pembicaraan kalau aku mengungkit kembali tentang lamaranku. Kau selalu menghindar”

“Menghindar bukan berarti menolak. Kau hanya nggak mengerti alasanku, Jammy” ujarku, berusaha mengendalikan emosiku.

“Alasan apa lagi?!” tanyanya dengan nada tinggi, nyaris membuatku terlonjak. Aku menggigit bibir bawahku ragu. Haruskah aku memberitahu alasan sebenarnya mengapa aku selalu meno—ehem maksudku, menunda lamarannya? Disaat kami bertengkar lagi seperti ini?

Melihatku yang tidak kunjung bicara, dia mendecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tertawa sinis, “Mungkin benar kata teman-temanku. Kau hanya perempuan matre! Kau pasti tidak mau menerimaku karena aku nggak membelikanmu cincin emas yang—”

PLAK


Bersamaan dengan kalimatnya yang terhenti, Jammy memegang pipi kanannya yang terasa panas dan menatapku heran. Airmataku mulai mengalir. Kenapa dia begitu bodoh dan nggak peka?! Dan apa tadi? Dia bilang aku matre?!


“James Bennington! Kau tahu dengan benar kalau aku nggak pernah mengincar kekayaanmu!” ujarku sedikit berteriak.

Ia berkacak pinggang. “Lalu apa? Apa, Cals?”

Aku nggak punya pilihan. Pria bodoh dan tolol ini nggak mengerti, tidak peka, dan benar-benar bego. Persetan dengan harga diri. Pria ini harus diberitahu alasan, karena kalau nggak, mungkin saja kami akan berakhir. Duh, aku gak ingin hubunganku dengan pria bodoh ini berakhir hanya karena masalah ini. Aku mencintainya, tentu saja.

“Aku hanya ingin kau bertanya padaku dengan benar, Jammy! Lamarlah aku dengan benar!!” teriakku tepat didepan wajahnya. Ia memundurkan sedikit kepalanya, mungkin karena saat aku berteriak air liurku sedikit terciprat disana. Masa bodo.

Setelah mengelap wajahnya menggunakan punggung tangannya, dia tertawa sinis, “Oh, kau ingin aku melamar dengan benar? Maksudmu, aku harus melamarmu dengan satu truk mawar, cincin mahal dan harus memakai sepatu bagus? Kau benar-benar ma—“


PLAK

Aku menamparnya lagi sebelum kata matre terucap. Kali ini dengan keras. Aku bahkan merasakan nyeri di telapak tanganku. Bahkan telapak tanganku memerah. Oh, dan, tentu saja di pipi Jammy lebih parah. Di kulit pipinya yang putih mulus itu ada bekas telapak tanganku.

“Tidakkah kau sadar kalau aku hanya ingin kau melamarku dengan cara yang romantis?!” ujarku, airmata kembali lolos dari mataku.


“Kau melamarku dengan karet gelang-demi Tuhan, karet gelang! Kau pikir wanita mana yang ingin dilamar dengan karet gelang dan bukannya cincin? Kau melamarku lagi dengan membawa cincin. Tapi itu cincin plastik yang bahkan kau pulung dari jalan-Oh, jangan menatapku heran, aku tahu itu dari Brad-tidak, tidak, kau tidak boleh marah padanya. Sekarang dengarkan aku baik-baik”


“Kau pikir aku akan senang? Yaampun, kau bahkan memiliki lamborghini dan ferrari kesukaanmu di gudang rumahmu tapi membeli cincin saja tak mampu? Oh,kumohon jangan tatap aku seperti itu lagi. Bukan maksudku matre, tapi, kau benar-benar nggak modal dan keterlaluan! Padahal aku meminta cincin hanya ingin melihat seberapa jauh dan seriusnya kau ingin menikahiku. Kau melamarku lagi saat itu di depan fakultas seni, tapi kau nggak memakai sepatu! Itu memalukan karena kita saat itu ditonton banyak orang. Lagi pula lelaki mana yang melamar dengan kaki telanjang?! Kau juga melamarku dengan bunga. Untuk sesaat aku senang ketika kau bilang kau membawa bunga, tapi, kemudian yang kau beri malah asparagus. Kau sinting! Kemarin kau juga melamarku lagi dengan baju rombe-rombe dan celana gombrang polkadot. Kau pikir kau adalah badut festival?!” lanjutku sambil menggeram. Jammy hanya menganga mendengar penuturanku.

“Aku hanya ingin kau melamarku—bertanya padaku dengan benar. Kau hanya harus bertanya dengan benar. Seperti mungkin mengajakku makan berdua di rumahmu, yang dapurnya sudah kau sulap seperti candle light dinner? Itu sederhana dan romantis kan? Aku tahu kau kaya, aku tahu kau bisa membelikanku cincin dengan permata sebesar kutil Prof.Hery—dosen saat kita kuliah dulu, tapi, aku sendiri kan yang memintamu untuk membeliku cincin dengan usahamu sendiri dan bukannya meminta uang orang tuamu? Lalu kau bilang aku matre? Astaga, dimana otakmu yang jarang kau gunakan itu?!”

Jammy terdiam. Nggak, ia terlihat ingin berbicara namun ia kembali mengatupkan mulutnya. Ku harap setelah dua tamparan, dan teriakan tadi bisa menyadarkannya. Aku sudah membuang harga diriku jauh-jauh. Padahal aku hanya mempunyai impian kecil—dilamar dengan cara yang romantis. Sesusah itukah Jammy mengabulkan impianku?


Setelah keheningan yang terasa seperti selamanya, ia pergi meninggalkanku begitu saja dan berlari ke arah rumahnya yang berada tepat di sebelahku. Air mataku kembali mengalir. Apa hubungan kita berakhir? Selama sepuluh tahun bersama, berakhir begitu saja? Oh, harusnya aku nggak mengatakan alasanku karena itu sia-sia.

Aku terduduk di lantai. Aku menutup mukaku dan mulai menangis dalam diam. Aku gak ingin Mum tahu kami berpisah. Tolong, katakan ini mimpi.

Entah berapa lama aku duduk sambil menutupi mukaku. Aku mulai lelah. Hingga akhirnya ada tepukan lembut di kepalaku, membuatku menengadahkan mukaku. Dan disanalah dia. Jammy. Tetanggaku. Sahabatku. Pacarku semenjak SMA hingga kami berumur dua puluh lima tahun. Airmataku kembali mengalir.


“Ssh, tolong jangan nangis, Cals. Maafkan aku” ujarnya sambil mengelus kepalaku. Kalau ku perhatikan, rambutnya agak sedikit basah, ia juga berganti pakaian, giginya kembali putih bersih dan bau mint menyeruak dari mulutnya.

“Kau habis mandi?” tanyaku tanpa sadar. Ia meringis, “Uh, yeah. Tapi itu tidak penting. Sekarang, aku ingin kau dengarkan aku dan jangan menyelaku, oke?”
Aku mengangguk, sambil berusaha menghentikan air mataku. “Cals, aku.. duh, aku bego banget ya? Haha” ujarnya meracau. Aku kembali mengangguk, “Bukan hanya bego, kau juga gak peka” ujarku.


Ia malah tertawa. “Baiklah, intinya aku bego dan gak peka. Tapi, aku benar-benar minta maaf Cals. Aku..  bingung harus melamarmu bagaimana” ujarnya. Aku tertegun. Bingung bagaimana?

“Begini, kau ingat saat dulu kita menonton drama-korea-sialan yang How To Propose itu?” tanyanya. Aku mengangguk. Sedikit kesal, ia mengatakan drama kesukaanku sialan. Drama itu sangat bagus. Drama romance-comedy yang benar-benar bagus.

“kau ingat bagaimana Youngsuk melamar si—ehm aku lupa siapa namanya, yah, kau ingat gak bagaimana dia melamar si tokoh wanita?”

“Maksudmu Junghee? Ya aku ingat. Youngsuk melamarnya hanya dengan karet gelang, dan hal konyol seperti---“

Tunggu. Karet gelang? OH ASTAGA. KENAPA AKU BARU SADAR?!!
“—astaga Jammy, jangan katakan kalau kamu meniru semua cara Youngsuk melamar di drama itu?”

Jammy tersenyum malu dan mengangguk. “Astaga kau idiot” cibirku.

“Iya, aku idiot yang ingin melamar kekasihku dengan cara yang romantis. Tapi aku jadi kesal sendiri waktu kau selalu menolak lamaranku. Padahal aku sudah menirunya dengan sempurna” ujarnya malas.

“Kau bilang melamar dengan cincin pungutan, tanaman asaragus, dan baju badut itu romantis? Oh, sangat romantis Jammy. Sangat” ujarku sarkastik sembari memutar bola mataku jengah. Lelaki itu selalu membuatku berpikir kalau dia benar-benar tidak punya otak. 

Jammy tertawa, “Kau tahu kenapa aku nekat meniru adegan drama sialan itu?” tanyanya, yang hanya kujawab dengan gelengan.
Jammy tersenyum. Ia menarik telapak kananku dan meletakkan sesuatu disana. Mataku hampir copot dari tempatnya ketika melihat apa yang ia letakkan disana.

“Karena waktu itu kau terlihat tersentuh dengan usaha si tokoh pria idiot itu. Dan kau pernah bilang bahwa caranya melamar itu sinting, tapi benar-benar romantis. Dan aku ingat sekali saat kecil kau pernah bilang padaku kalau kau ingin dilamar dengan cara yang unik dan romantis”

Air mataku kembali mengalir. Meski kali ini dengan perasaan yang berbeda. Aku terus mendengarkan ia berbicara sembari menatap kotak beludru berwarna merah ini. 

Jadi, ia tahu dan masih ingat komentarku tentang drama itu dulu dan impianku dulu?

Jammy mengusap airmataku dengan jempolnya, kemudian berkata, “Tapi sepertinya aku salah tanggap. Karena, sepertinya bukan seperti itu yang kau inginkan” ujarnya sedih. “Maaf” bisiknya lirih, kemudian ia hendak berdiri.

 Apakah ia hendak pergi? Apakah ia ingin berpisah? Oh tidak kumohon jangan. Dengan cepat aku menarik lengannya hingga ia terduduk kembali didepanku.

Aku menggeleng dengan cepat, “Tidak, Jam. Aku. Aku lah yang salah. Aku.. aku bahkan lupa dan gak ingat sama sekali kalau kau melamarku dengan cara yang sama seperti di drama itu. Aku bahkan gak sadar kalau melakukan itu semua karena aku. Aku.. aku minta maaf. Dan kumohon, jangan tinggalkan aku” ujarku bergemetar. Aku kembali menangis. Sial. Mataku perih.


Jammy tersenyum kemudian tertawa, “Siapa yang mau meninggalkanmu? Aku cuma mau ambil bunga kok. Dan tenang saja, kali ini benar-benar bunga. Bunga mawar. Kau suka kan? Oh, dan aku juga sudah memastikan nggak ada ulat dan duri disana seperti saat aku melamarmu dulu” ujarnya sambil terkekeh kecil membuatku teringat dulu ia juga pernah melamarku dengan setangkai bunga mawar—yang ia petik dari rumah Mrs.Carlingson, ia marah saat tahu Jammy memetik bunganya ngomong-ngomong. Saat ia melamarku dengan bunga itu, aku sedikit senang. Tapi tidak bertahan lama karena saat aku memegang bunganya, tanganku berdarah kena duri dan ada ulat di daunnya.

Tanpa membiarkan aku menjawab, dia pergi keluar gerbang dan tak lama kembali dengan sebuket kecil bunga mawar merah. Aku tersenyum lebar. Degupan jantungku mulai melonjak-lonjak seolah ingin meloncat keluar.

Ia mengambil kotak beludru dari tanganku, ia memberi bunga itu, dan membuka kotak itu. Memperlihatkan cincin berwarna perak dengan permata kecil di tengahnya. Simple tapi terlihat elegan.

Jammy mendeham hingga membuat pandanganku kembali padanya, “Setelah 2 tahun kita lulus dan bekerja, aku sudah tidak mengambur-hamburkan uang lagi seperti yang kau minta. Aku menabung uang hasil kerjaku, dan sesuai permintaanmu, aku membeli cincin ini dengan usahaku sendiri” ujarnya.

“Jadi, kau harus menikah denganku” katanya dengan nada final. 

Aku kembali menangis. Astaga, kenapa malam ini aku menjadi anak cengeng sih?!

“Aku ma—eh? Kalimatmu gak terdengar seperti melamarku. Kau memaksaku!” ujarku tak terima.

Ia malah terkekeh, “Aku bosan menanyakan apakah kau mau menikahiku. Mulai sekarang, aku gak menerima penolakan” katanya.

Aku tersenyum. Dia benar-benar lelaki bodoh, bego, gak peka, dan pemaksa. “Dan kamu tahu aku gak akan bisa bilang nggak” balasku.

Kami tertawa bersama, kemudian terlarut dalam obrolan kami yang selalu konyol dan merempet ke sana-sini, dan bergossip sana-sini.

Aku senang. Kali ini, Jammy mengabulkan impianku. Ia melamarku dengan romantis, meski agak hancur karena pertengkaran kami tadi. Tapi, sudahlah. Itu tetap romantis.
Romantis kan?


---



#SalamCuap: Hai readers dan blogger tersayang-caileh-. Dengan bangga—atau mungkin dengan rendah hati, saya membawakan sebuah orific untuk agan-agan sekalian. Selama membaca, saya tidak tanggung jawab kalau nanti agan-agan mual, kejang2, dan sbgnya. Kalau selama baca anda mulai ayan, harap hentikan saja wkw. Tapi tolong tinggalkan kesan-pesannya di kolom komentar ya~ DAN harap jangan copas cerita saya tanpa seijin saya. Baiklah, selamat menikmati~


You Might Also Like

1 komentar

  1. yaampuuuuuuuuuuuuuuuuun! Si Jammy nya unyu unyu ngegemesin pengen nabok gimanaaa gitu ya :"3

    cuteness overload

    BalasHapus

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images